Tampilkan postingan dengan label Aqidah. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Aqidah. Tampilkan semua postingan

Sabtu, 17 Maret 2012

Para Pemetik Janji Surga dan Orang-orang yang Pasti Masuk Neraka

     Para pembaca, semoga lindungan Allah subhanahu wa ta’ala senantiasa bersama kita, di antara akidah Islam yang wajib diyakini oleh setiap muslim dan muslimah adalah adanya hari akhir. Sangat banyak ayat-ayat Al-Qur`an dan hadits-hadits shahih yang menjelaskannya. Tak heran, bila iman kepada hari akhir itu berposisi sebagai rukun iman yang kelima.
Di hari akhir, umat manusia akan hidup kekal abadi. Sedangkan tempat kembali mereka dalam kehidupan tersebut hanya dua; surga (al-Jannah) dan neraka (an-Nar). Keduanya adalah ciptaan Allah, dan keduanya sudah ada. Ayah kita Nabi Adam dan ibu Hawa’ pada mulanya tinggal di surga itu, kemudian Allah subhanahu wa ta’ala turunkan ke muka bumi ini karena pelanggaran yang diperbuat oleh keduanya, dan akhirnya semua telah mendapatkan ampunan dari-Nya. Sebagaimana disebutkan dalam beberapa ayat dari surah al-Baqarah. Demikian pula pada peristiwa al-isra’ wal mi’raj, Allah subhanahu wa ta’ala perlihatkan kepada Rasulullah shallallaahu ‘alihi wa sallam surga, neraka, dan beberapa kejadian di surga maupun di neraka. Sebagaimana yang tertera dalam hadits-hadits yang shahih. Ini semua sebagai bukti kuat bahwa surga dan neraka itu benar-benar adalah ciptaan Allah subhanahu wa ta’ala dan sudah ada.
Surga, Allah subhanahu wa ta’ala siapkan untuk orang-orang yang bertakwa. Sedangkan neraka, Allah subhanahu wa ta’ala siapkan untuk orang-orang kafir dan para pelaku kemaksiatan. Itulah tempat tinggal yang hakiki. Adapun kehidupan dunia yang sedang kita jalani ini, hakikatnya adalah persinggahan sementara. Siapapun yang hidup padanya pasti akan meninggalkannya.

Jaminan dan Kepastian
     Para pembaca, semoga rahmat Allah subhanahu wa ta’ala senantiasa bersama kita, di antara akidah Islam yang wajib diyakini oleh setiap muslim dan muslimah, bahwa janji surga dari Allah subhanahu wa ta’ala adalah suatu kepastian. Demikian pula ancaman neraka adalah suatu kepastian. Dan, janji Allah subhanahu wa ta’ala pasti terlaksana. Sehingga, ketika nama seseorang disebutkan secara khusus di dalam Al-Qur`an atau Sunnah Rasulullah shallallaahu ‘alihi wa sallam sebagai penghuni surga atau neraka maka kelak di akhirat pasti mendapatkan apa yang telah dijanjikan itu. Maka wajib bagi kita untuk meyakininya.
Adapun yang namanya tidak disebutkan secara khusus di dalam Al-Qur`an atau Sunnah Rasulullah shallallaahu ‘alihi wa sallam sebagai penghuni surga atau neraka, maka kita tidak boleh memastikannya sebagai penghuni surga atau neraka. Sikap kita adalah berharap untuk orang yang shalih lagi bertakwa semoga menjadi penghuni surga dan khawatir terhadap pelaku kemaksiatan menjadi penghuni neraka.

Mungkin di antara pembaca ada yang bertanya, apakah ada orang-orang yang disebutkan namanya di dalam Al-Qur`an atau Sunnah Rasulullah shallallaahu ‘alihi wa sallam sebagai penghuni surga atau neraka? Jawabannya adalah ada. Siapakah mereka itu? Untuk lebih jelasnya simaklah pembahasan berikut ini.
Para pembaca, semoga hidayah Allah subhanahu wa ta’ala senantiasa bersama kita, ketahuilah bahwa di antara hamba-hamba Allah yang bertakwa ada yang telah mendapatkan jaminan dan kepastian sebagai penghuni surga dalam keadaan mereka masih berjalan di muka bumi ini. Demikian pula di antara hamba-hamba Allah subhanahu wa ta’ala ada yang mendapat vonis berat berupa ancaman yang pasti sebagai penghuni neraka, dalam keadaan masih hidup di muka bumi ini. Hal itu karena kekafirannya yang sungguh telah melampaui batas.

Para Pemetik Janji Surga
    
     Rasulullah shallallaahu ‘alihi wa sallam dalam beberapa haditsnya telah menyebutkan nama-nama orang yang dipastikan akan masuk surga saat mereka masih berjalan di muka bumi ini. Di antara orang-orang tersebut adalah:

1. Sepuluh orang sahabat Nabi shallallaahu ‘alihi wa sallam yang dikenal dengan sebutan al-’Asyarah al- Mubassyaruna bil Jannah (10 orang yang mendapat kabar gembira pemetik janji surga). Mereka itu adalah:
- Abu Bakar ash-Shiddiq radhiyallaahu ‘anhu
- ‘Umar bin al-Khaththab al-Faruq radhiyallaahu ‘anhu
- ‘Utsman bin ‘Affan radhiyallaahu ‘anhu
- Ali bin Abi Thalib radhiyallaahu ‘anhu
- Thalhah bin ‘Ubaidillah radhiyallaahu ‘anhu
- Az-Zubair bin al-’Awwam radhiyallaahu ‘anhu
- ‘Abdurrahman bin ‘Auf radhiyallaahu ‘anhu
- Sa’ad bin Abi Waqqash radhiyallaahu ‘anhu
- Sa’id bin Zaid radhiyallaahu ‘anhu
- Abu ‘Ubaidah bin al-Jarrah radhiyallaahu ‘anhu

Tentang mereka, Rasulullah shallallaahu ‘alihi wa sallam bersabda, “Abu Bakar di surga, Umar di surga, Utsman di surga, Ali di surga, Thalhah di surga, az-Zubair di surga, Abdurrahman bin Auf di surga, Sa’ad bin Abi Waqqash di surga, Sa’id bin Zaid di surga dan Abu Ubaidah bin al-Jarrah di surga.” HR. Abu Dawud, at-Tirmidzi, dan yang lainnya.

2. Khadijah bintu Khuwailid radhiyallaahu ‘anha, istri pertama Rasulullah shallallaahu ‘alihi wa sallam dan salah satu ibunda kaum mukminin.
 Sahabat Abu Hurairah radhiyallaahu ‘anhu pernah bercerita, “Pada suatu hari ketika Rasulullah sedang berada di gua Hira, datanglah Malaikat Jibril kepada beliau seraya berkata, “Wahai Rasulullah, Khadijah akan datang menemuimu dengan membawa tempat yang berisi makanan dan minuman. Maka jika dia telah datang, sampaikanlah salam kepadanya dari Rabb-nya dan dariku, serta kabarkan kepadanya bahwa baginya sebuah rumah di surga yang terbuat dari mutiara yang tidak ada kegaduhan dan kepayahan di dalamnya.” HR. al-Bukhari dan Muslim
Rasulullah shallallaahu ‘alihi wa sallam bersabda, “Pemuka para wanita surga setelah Maryam bintu Imran adalah Fatimah, Khadijah dan Asiyah istri Firaun.” HR. ath-Thabarani

3. Sahabat Sa’ad bin Mu’adz al-Anshari radhiyallaahu ‘anhu
Beliau adalah seorang sahabat Nabi shallallaahu ‘alihi wa sallam yang memiliki banyak keutamaan. Di antaranya adalah sebagaimana disabdakan Rasulullah shallallaahu ‘alihi wa sallam, “Al-’Arsy bergetar karena wafatnya Sa’ad bin Muadz.” HR. al-Bukhari dan Muslim
 Dan beliau juga termasuk orang yang mendapat jaminan al-Jannah.  Sahabat Anas bin Malik radhiyallaahu ‘anhu pernah bercerita, “Rasulullah pernah diberi hadiah berupa jubah yang terbuat dari sutra, sementara Rasulullah melarang untuk menggunakan sutra. Ketika para sahabat melihat jubah tersebut mereka merasa takjub dengan keindahannya. Maka kemudian Rasulullah bersabda, “Demi Dzat yang jiwa Muhammad berada di tangan-Nya, sesungguhnya sapu tangan Sa’ad bin Muadz di surga lebih baik dan lebih indah dibandingkan jubah ini.” HR. al-Bukhari dan Muslim

4. Sahabat Bilal bin Rabah radhiyallaahu ‘anhu

Beliau adalah salah seorang muadzin Rasulullah shallallaahu ‘alihi wa sallam. Keimanan yang kokoh kepada Allah subhanahu wa ta’ala telah mengantarkan dan mengangkat martabatnya menjadi orang mulia, bahkan menjadi salah seorang pemetik janji surga yang abadi dan penuh dengan kenikmatan, padahal beliau berasal dari kalangan hamba sahaya.

Sahabat Abu Hurairah radhiyallaahu ‘anhu bercerita, “Di pagi hari setelah shalat shubuh, Rasulullah bertanya kepada Bilal, “Wahai bilal, kabarkan kepadaku suatu amalan mulia yang kau amalkan dalam Islam, sungguh aku mendengar suara kedua sandalmu di surga.” Bilal kemudian berkata, “Aku tidaklah beramal dengan suatu amalan yang sangat bisa diharapkan. Akan tetapi, tidaklah aku berthaharah (berwudhu) melainkan setelah itu aku iringi dengan shalat 2 rakaat dari apa yang telah ditetapkan bagiku.” HR. al-Bukhari dan Muslim

5. Kedua putra sahabat Ali bin Abi Thalib, Hasan dan Husain radhiyallaahu ‘anhum

Keduanya adalah cucu kesayangan Rasulullah shallallaahu ‘alihi wa sallam dari putri beliau, Fatimah radhiyallaahu ‘anha. Mereka termasuk pemetik janji surga saat masih berjalan di muka bumi ini.

Rasulullah bersabda, “Sesungguhnya Hasan dan Husain adalah dua raihan (rahmat, rezki, kesayangan) ku di dunia.” HR. al-Bukhari
Rasulullah shallallaahu ‘alihi wa sallam juga bersabda,“Hasan dan Husain, keduanya adalah pemuka para pemuda surga.” HR. at-Tirmidzi

6. Sahabat Tsabit bin Qais al-Anshari radhiyallaahu ‘anhu

Beliau adalah salah seorang ahli pidato kaum Anshar yang lantang suaranya. Dikisahkan, ketika turun ayat ke-2 dari surah al-Hujurat, yang artinya, “Wahai orang-orang yang beriman janganlah kalian keraskan suara kalian di atas suara Nabi dan jangan kalian bersuara keras terhadap Nabi sebagaimana kerasnya suara sebagian kalian kepada sebagian yang lain supaya tidak gugur amal kalian sedangkan kalian tidak menyadarinya.”
            Timbul rasa bersalah dalam diri beliau, karena termasuk orang yang bersuara keras di hadapan Rasulullah shallallaahu ‘alihi wa sallam. Beliau khawatir termasuk orang yang diancam dalam ayat tersebut. Akhirnya beliau pun berdiam diri di rumahnya beberapa waktu lamanya. Ketidakhadirannya dalam majlis-majlis ilmu akhirnya tercium oleh Rasulullah shallallaahu ‘alihi wa sallam. Beliau bertanya kepada sahabat yang lain tentang keadaan Tsabit radhiyallaahu ‘anhu. Para sahabat pun menyampaikan bahwa sebab ketidakhadirannya itu karena turunnya ayat ke-2 dari surah al-Hujurat tersebut. Setelah mendengar penjelasan para sahabat tentang sebab ketidakhadiran Tsabit tersebut, maka beliau berkata kepada salah seorang sahabat yang ada ketika itu,
 “Pergilah kepada Tsabit dan kabarkan kepadanya bahwa engkau bukan dari penduduk neraka, akan tetapi justru termasuk dari penduduk surga.” HR. al-Bukhari dan Muslim


Beberapa Orang yang Pasti Masuk Neraka
     Di antara orang-orang yang mendapatkan ancaman dan kepastian sebagai penghuni neraka tersebut adalah:
1. Abu Lahab, namanya adalah Abdul ‘Uzza bin Abdul Muththalib yang merupakan paman Rasulullah shallallaahu ‘alihi wa sallam. Demikian pula istri dari Abu Lahab, Ummu Jamil Arwa bintu Harb bin Umayyah yang merupakan saudari kandung sahabat Abu Sufyan radhiyallaahu ‘anhu. Suami-istri tersebut telah diancam dan dipastikan sebagai penguni neraka dengan azabnya yang sangat dahsyat, dalam keadaan keduanya masih berjalan di muka bumi. Hal itu karena besarnya makar dan gangguan mereka terhadap Rasulullah shallallaahu ‘alihi wa sallam dan kaum muslimin. Allah subhanahu wa ta’ala tegaskan ancaman dan kepastian neraka itu dalam surah al-Masad.

2. Abu Thalib, namanya adalah Abdu Manaf bin Abdul Muththalib yang juga paman Rasulullah shallallaahu ‘alihi wa sallam.

Rasulullah shallallaahu ‘alihi wa sallam bersabda, “Penduduk neraka yang paling ringan azabnya adalah Abu Thalib, dimana dia mengenakan kedua sandalnya (di atas bara api) yang kemudian mendidih otaknya.” HR. Muslim

3. Amr bin Amir bin Luhai al-Khuza’i. Dia adalah orang pertama yang membawa patung-patung dari negeri Syam ke Makkah yang kemudian diletakkan di Ka’bah hingga akhirnya disembah oleh manusia. Rasulullah shallallaahu ‘alihi wa sallam mengabarkan keadaan orang ini di neraka,
sebagaimana dalam sabda beliau, “Aku melihat Amr bin Amir al-Khuza’i menyeret ususnya di neraka.” HR. al-Bukhari dan Muslim
Para pembaca yang mulia, kita mengetahui bahwa tempat kembali di akhirat hanya ada dua, surga dan neraka. Kita telah membaca sebagian orang yang telah mendapat jaminan surga ataupun neraka. Adapun diri kita belum ada kepastian ke mana kita akan kembali. Maka kita berharap dan memohon kepada Allah subhanahu wa ta’ala agar memasukkan kita semua dalam penghuni surga (al-Jannah). Tentu dengan upaya melaksanakan perintah-perintah Allah subhanahu wa ta’ala dan menjauhi larangan-larangan-Nya.
Wallahu a’lamu bish shawab.

Penulis: Al-Ustadz ‘Abdullah Imam hafizhahullah
Sumber : Buletin Al-Ilmu

Rabu, 14 Maret 2012

Defenisi Iman

Defenisi Iman
 Pengertian iman secara bahasa menurut Syaikh Muhammad bin Shalih Al ‘Utsaimin adalah pengakuan yang melahirkan sikap menerima dan tunduk. Kata beliau makna ini cocok dengan makna iman dalam istilah syari’at. Dan beliau mengkritik orang yang memaknai iman secara bahasa hanya sekedar pembenaran hati (tashdiq) saja tanpa ada unsur menerima dan tunduk. Kata ’iman’ adalah fi’il lazim (kata kerja yang tidak butuh objek), sedangkan tashdiq adalah fi’il muta’addi (butuh objek) (Lihat Syarh Arba’in, hal. 34)
Adapun secara istilah, dalam mendefinisikan iman manusia terbagi menjadi beragam pendapat [dikutip dari Al Minhah Al Ilahiyah, hal. 131-132 dengan sedikit perubahan redaksional] :
Pertama
Imam Malik, Asy Syafi’i, Ahmad, Al Auza’i, Ishaq bin Rahawaih, dan segenap ulama ahli hadits serta ahlul Madinah (ulama Madinah) –semoga Allah merahmati mereka- demikian juga para pengikut madzhab Zhahiriyah dan sebagian ulama mutakallimin berpendapat bahwa definisi iman itu adalah : pembenaran dengan hati, pengakuan dengan lisan, dan amal dengan anggota badan. Para ulama salaf –semoga Allah merahmati mereka- menjadikan amal termasuk unsur keimanan. Oleh sebab itu iman bisa bertambah dan berkurang, sebagaimana amal juga bertambah dan berkurang (lihat Kitab Tauhid li Shaff Ats Tsaani Al ‘Aali, hal. 9).
Kedua
Banyak di antara ulama madzhab Hanafi yang mengikuti definisi sebagaimana yang disebutkan oleh Ath Thahawi rahimahullah yang mengatakan bahwa iman itu pengakuan dengan lisan dan pembenaran dengan hati.
Ketiga
Ada pula yang mengatakan bahwa pengakuan dengan lisan adalah rukun tambahan saja dan bukan rukun asli. Inilah pendapat Abu Manshur Al Maturidi rahimahullah, dan Abu Hanifah pun diriwayatkan memiliki sebuah pendapat seperti ini.
Keempat
Sekte Al Karramiyah mengatakan bahwa iman itu hanya pengakuan dengan lisan saja! Maka dari definisi mereka ini orang-orang munafiq itu dinilai sebagai orang-orang beriman yang sempurna keimanannya, akan tetapi menurut mereka orang-orang munafiq itu berhak mendapatkan ancaman yang dijanjikan oleh Allah untuk mereka! Pendapat mereka ini sangat jelas kekeliruannya.
Kelima
Jahm bin Shafwan dan Abul Hasan Ash Shalihi –salah satu dedengkot sekte Qadariyah- berpendapat bahwa iman itu cukup dengan pengetahuan yang ada di dalam hati! [Dan inilah yang diyakini oleh kaum Jabariyah, lihat. Syarh ‘Aqidah Wasithiyah, hal. 163]. Pendapat ini jauh lebih jelas kerusakannya daripada pendapat sebelumnya! Sebab kalau pendapat ini dibenarkan maka konsekuensinya Fir’aun beserta kaumnya menjadi termasuk golongan orang-orang yang beriman, karena mereka telah mengetahui kebenaran Musa dan Harun ‘alaihimash sholatu was salam dan mereka tidak mau beriman kepada keduanya. Karena itulah Musa mengatakan kepada Fir’aun, Sungguh kamu telah mengetahui dengan jelas bahwa tidaklah menurunkan itu semua melainkan Rabb pemilik langit dan bumi.” (QS. Al Israa’ [17] : 102). Allah Ta’ala berfirman (yang artinya), Mereka telah menentangnya, padahal diri mereka pun meyakininya, hal itu dikarenakan sikap zalim dan perasaan sombong. Maka perhatikanlah bagaimana kesudahan orang-orang yang melakukan kerusakan itu. (QS. An Naml [27] : 14). Bahkan iblis pun dalam pengertian Jahm ini juga termasuk kaum beriman yang sempurna imannya! Karena ia tidaklah bodoh tentang Rabbnya, bahkan dia adalah sosok yang sangat mengenal Allah (yang artinya), Iblis berkata,’Rabbku, tundalah kematianku hingga hari mereka dibangkitkan nanti.’.” (QS. Al Hijr [15] : 36). Dan hakekat kekufuran dalam pandangan Jahm ini adalah ketidaktahuan tentang Allah ta’ala, padahal tidak ada yang lebih bodoh tentang Rabbnya daripada dia!!
Imam Asy Syafi’i rahimahullah berkata, “Iman itu meliputi perkataan dan perbuatan. Dia bisa bertambah dan bisa berkurang. Bertambah dengan sebab ketaatan dan berkurang dengan sebab kemaksiatan.” Imam Ahmad bin Hanbal rahimahullah berkata, “Iman bisa bertambah dan bisa berkurang. Ia bertambah dengan melakukan amal, dan ia berkurang dengan sebab meninggalkan amal.” (Perkataan dua orang imam ini bisa dilihat di Al Wajiz fii ‘Aqidati Salafish shalih, hal. 101-102) Bahkan Imam Bukhari rahimahullah mengatakan, “Aku telah bertemu dengan lebih dari seribu orang ulama dari berbagai penjuru negeri, aku tidak pernah melihat mereka berselisih bahwasanya iman adalah perkataan dan perbuatan, bisa bertambah dan berkurang.” (Lihat Fathul Baari, I/60)
Penjelasan definisi iman
‘Iman itu berupa pembenaran hati’ artinya hati menerima semua ajaran yang dibawa oleh Rasul shallallahu ‘alahi wa sallam. ‘Pengakuan dengan lisan’ artinya mengucapkan dua kalimat syahadat ‘asyhadu an la ilaha illallah wa asyhadu anna Muhammadar rasulullah’. Sedangkan ‘perbuatan dengan anggota badan’ artinya amal hati yang berupa keyakinan-keyakinan dan beramal dengan anggota badan yang lainnya dengan melakukan ibadah-ibadah sesuai dengan kemampuannya (Lihat Kitab At Tauhid li Shaff Ats Tsaani Al ‘Aali, hal. 9)
Dan salah satu pokok penting dari aqidah Ahlus sunnah wal jama’ah ialah keyakinan bahwa iman itu bertambah dan berkurang (Lihat Fathu Rabbbil Bariyah, hal. 102). Hal ini telah ditunjukkan oleh dalil-dalil dari Al Kitab maupun As Sunnah. Salah satu dalil dari Al Kitab yaitu firman Allah ta’ala (yang artinya), Agar bertambah keimanan mereka di atas keimanan mereka yang sudah ada.” (QS. Al Fath [48] : 4).
Dalil dari As Sunnah di antaranya adalah sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang sosok kaum perempuan, Tidaklah aku melihat suatu kaum yang kurang akal dan agamanya dan lebih cepat membuat hilang akal pada diri seorang lelaki yang kuat daripada kalian ini (kaum perempuan).” (HR. Al Bukhari dan Muslim).
Maka ayat di atas menunjukkan penetapan bahwa iman itu bisa bertambah, sedangkan di dalam hadits tersebut terdapat penetapan tentang berkurangnya agama. Sehingga masing-masing dalil ini menunjukkan adanya pertambahan iman. Dan secara otomatis hal itu juga mengandung penetapan bisa berkurangnya iman, begitu pula sebaliknya. Sebab pertambahan dan pengurangan adalah dua hal yang tidak bisa dipisah-pisahkan. Tidak masuk akal keberadaan salah satunya tanpa diiringi oleh yang lainnya.
Dengan demikian dalam pandangan ahlus sunnah definisi iman memiliki 5 karakter : keyakinan, ucapan, amal, bisa bertambah, dan bisa berkurang. Atau bisa diringkas menjadi 3 : keyakinan, ucapan, dan amal. Karena amal bagian dari iman, secara otomatis iman bisa bertambah dan berkurang. Atau bisa diringkas lebih sedikit lagi menjadi 2 : ucapan dan amal, sebab keyakinan sudah termasuk dalam amal yaitu amal hati. Wallahu a’lam.
Penyimpangan dalam mendefinisikan iman
Keyakinan bahwa iman bisa bertambah dan berkurang adalah aqidah yang sudah paten, tidak bisa diutak-atik atau ditawar-tawar lagi. Meskipun demikian, ada juga orang-orang yang menyimpang dari pemahaman yang lurus ini. Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullah menjelaskan bahwa orang-orang yang menyimpang tersebut terbagi menjadi dua kelompok yaitu : Murji’ah dan Wai’diyah.
Murji’ah tulen mengatakan bahwa iman itu cukup dengan pengakuan di dalam hati, dan pengakuan hati itu menurut mereka tidak bertingkat-tingkat. Sehingga menurut mereka orang yang gemar bermaksiat (fasik) dengan orang yang salih dan taat sama saja dalam hal iman. Menurut orang-orang Murji’ah amal bukanlah bagian dari iman. Sehingga cukuplah iman itu dengan modal pengakuan hati dan ucapan lisan saja. Konsekuensi pendapat mereka adalah pelaku dosa besar termasuk orang yang imannya sempurna. Meskipun dia melakukan kemaksiatan apapun dan meninggalkan ketaatan apapun. Madzhab mereka ini merupakan kebalikan dari madzhab Khawarij. (lihat Syarh Lum’atul I’tiqad, hal. 161-163, Syarh ‘Aqidah Wasithiyah, hal. 162).
Wa’idiyah yaitu kaum Mu’tazilah [Mereka adalah para pengikut Washil bin ‘Atha’ yang beri’tizal (menyempal) dari majelis pengajian Hasan Al Bashri. Dia menyatakan bahwa orang yang melakukan dosa besar itu di dunia dihukumi sebagai orang yang berada di antara dua posisi (manzilah baina manzilatain), tidak kafir tapi juga tidak beriman. Akan tetapi menurutnya di akherat mereka akhirnya juga akan kekal di dalam Neraka, lihat Syarh Lum’atul I’tiqad, hal. 161-163] dan Khawarij mengatakan bahwa pelaku dosa besar telah keluar dari lingkaran iman. Mereka mengatakan bahwa iman itu kalau ada maka ada seluruhnya dan kalau hilang maka hilang seluruhnya. Mereka menolak keyakinan bahwa iman itu bertingkat-tingkat. Orang-orang Mu’tazilah dan Khawarij berpendapat bahwa iman itu adalah : pembenaran dengan hati, pengakuan dengan lisan, dan amal dengan anggota badan, akan tetapi iman tidak bertambah dan tidak berkurang (lihat Thariqul wushul ila idhahi Tsalatsati Ushul, hal. 169). Sehingga orang Mu’tazilah menganggap semua amal adalah syarat sah iman (lihat catatan kaki Al Minhah Al Ilahiyah, hal. 133). Dengan kata lain, menurut mereka pelaku dosa besar keluar dari Islam dan kekal di neraka (lihat Syarh ‘Aqidah Wasithiyah, hal. 163).
Kedua kelompok ini sudah jelas terbukti kekeliruannya baik dengan dalil wahyu maupun dalil akal. Adapun wahyu, maka dalil-dalil yang menunjukkan bertambah dan berkurangnya iman sudah disebutkan… (Lebih lengkap lihat Fathu Rabbil Bariyah, hal. 103-104).

Penulis: Abu Mushlih Ari Wahyudi
Sumber : @Muslim.Or.Id